Mengkaji Puisi “Membaca Tanda-Tanda”
1. Makna dalam Puisi.
Puisi Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail tersebut
apa bila kita baca secara detail, meiliki banyak makna yang terkandung didalamnya. Dimana makna dalam puisi tersebut sangat kental terasa terhadap kondisi kehidupan kita saat ini, yaitu sebagai berikut:
apa bila kita baca secara detail, meiliki banyak makna yang terkandung didalamnya. Dimana makna dalam puisi tersebut sangat kental terasa terhadap kondisi kehidupan kita saat ini, yaitu sebagai berikut:
a.
Ada
sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
kita
Makna
dalam bait puisi tersebut yaitu kelalaian kita menjaga alam sekitar, sehingga
bencana itupun muncul karena tangan-tangan nakal kita (manusia).
b.
Ada
sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai
merasakannya
Maknanya
yaitu bencana itu tak pernah menunjukkan kedahsyatannya, tapi lama kelamaan
bencana itu satu persatu muncul menghinggapi manusia.
c.
Kita
saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang
semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi
berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak
karbon dioksid itu menggilas paru-paru
Maknanya
yaitu pengarang berbagai bencana kini satu persatu timbul seperti, “….udara abu-abu warnya….”, kata-kata ini
dimaksudkan karena polusi udara yang
kian membutakan Bumi dan mengganggu pernapasan manusia. Air danau maupun sungai
surut dan kering. Sehingga populasi hewan seperti burung-burung yang biasa
berkicau dipagi hari.
Efek
dari polusi udara yang mengakibatkan “Global
Warming” tersebut yaitu hutan tidak memiliki ranting, ranting tidak
memiliki daun, daun tidak memiliki dahan, dan pada akhirnya kita tidak memiliki
hutan. Hanya gersanglah yang menghiasi bumi.
d.
Kita
saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata
Kita telah saksikan seribu
tanda-tanda
Biskah kita membaca tanda-tanda?
Maknanya
yaitu alam telah mengamuk, dari gunung berapi, longsor banjir telah menumpah
kan air mata manusia. Tangisan manusia yang tak terhentikan akibat amukan alam
tersebut.
Seribu
tanda-tanda keganasan alam itu telah datang dan menimpa manusia, namun
pertanyaan berbarengan kemudian. Apakah manusia mampu membaca tanda-tanda
tersebut? Yang tentunya tanpa kita sadari, datang dengan tiba-tiba.
e.
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya tak
begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukanya
Maknanya
yaitu, pada akhirnya hanya Tuhan yaitu Allah SWT yang mampu menentukan
tanda-tanda tersebut.
Manusia
tentunya harus mampu membaca dengan teliti tanda-tanda tersebut, dimana manusia
lalai dan lupa akan apa yang dititipkan-Nya. Sehingga Allah menghendaki
terjadinya bencana itu, dari bencana gempa, banjir, hama tanaman. Disamping itu
manusia meminta kearifan Tuhan Yang Maha Esa untuk mengetahui tanda-tanda, agar
mereka lebih mengerti apa yang akan terjadi. “…Allah…Ampuni dosa-dosa kami…” Pada akhirnya manusia hanya bisa
menyesali dan meratapi dosanya, namun semuanya terlambat untuk disesali. “….tapi kini kami mulai merindukannya”
disisi lain, manusia (kita) pun merindukan kedaan alam yang asri, yang bebas
dari polusi atau Global Warming.
Merindukan keadaan alam yang aman dan nyaman.
Jadi, kesimpulan secara garis besarnya
yaitu dimana puisi tersebut melukiskan keadaan alam yang kian rapuh dan
diambang kekritisan yang sering disebut dengan gejala “Global Warming”. Oleh
sebab itu tugas kita adalah mampu menjaga dan merawat bumi setelah mendapat
tanda-tanda alam yang telah menimpa kita.
2. Bahasa Kiasan.
Unsur kepuitisan untuk mendapatkan
kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative
language). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik
perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan
gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiasakan atau mempersamakan sesuatu hal
dengan hal lain supaya gambaran enjadi jelas, lebih menarik dan hidup.
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun
meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu
bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara
menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970). Adapun
jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah sebagi berikut:
a. Perbandingan
(smile)
b. Metafora
c. Perumpamaan
epos (epic smile)
d. Personifikasi
e. Metonimi
f. Sinekdoki
(synecdoche)
g. Allegori
a.
Perbandingan.
Perbandingan
atau perumpamaan atau smile, ialah
bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan
kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama,
laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lain. Perumpamaan atau
perbanding an ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan
paling banyak dipergunakan dalam sajak.
Dalam
puisi Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail ini, memiliki perbandingan atau
perumpamaan dalam sajaknya, yaitu sebagai berikut.
o
Pada baris kedua dalam puisi tersebut:
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu
jelas
tapi kini kita mulai
merasakannya…..
o
Maksudnya:
Dalam
sepenggal puisi tersebut menggambarkan/mengibaratkan kegelisahan hati pengarang
(manusia) akan terjadinya sesuatu bencana yang sangat besar, dimana manusia
menyadari bencana itu hadir/datang karena perbuatan kita sendiri dengan merusak
alam. Yang dimana dari awalnya tak pernah kita rasakan, tapi lama kelamaan
efeknya mulai kita rasakan.
b. Metafora.
Metafora
ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata
pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan biasanya. Metafora itu melihat
sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978).
Metafora
ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang
sesungguhnya tidak sama (Altenbernd, 1970).
o
Pada sajak pertama puisi tersebut:
Ada sesuatu yang
rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
kita….
o
Maksudnya:
Bencana
itu hadir bukan tanpa sebab, bencana datang karena ulah tangan manusia, dan “meluncur lewat sela-sela jari kita” ini
maksudnya bencana itu dating tidak lepas dari perbuatan kita sendiri, kemudian
akhirnya melanda didekat kita.
c. Perumpamaan Epos.
Perumpamaan
atau perbandingan epos (epic smile)
ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan
cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat
tau frase-frase yang beruturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sangat panjang.
o
Dalam sajak puisi tersebut:
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
o
Maksudnya:
Perbandingan
epos yaitu untuk memberi gambaran yang jelas, hanya saja perbandinga epos
dimaksudkan untuk memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan
sekedar memberikan persamaannya saja.
d.
Allegori.
Allegori
ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Alegori ini banyak terdapat dalam
sajak-sajak Pujangga Baru, namun pada waktu sekarang banyak juga dalam sajak
Indonesia Modern.
o
Dalam sajak puisi tersebut:
….Kita saksikan air danau yang
semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak
lagi berkicau pagi hari….
o
Maksudnya:
Dalam
puisi tersebut menyajikan dampak datangnya suatu bencana, sehingga berdampak
pada alam sekitarnya.
e.
Personifikasi.
Kiasan
ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat,
berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini banyak dipergunakan
para penyair dari dahulu hingga sekarang.
Personifikasi
ini membuat hidup lukisan, disamping itu member kejelasan kebenaran, memberikan
bayangan angan yang konkret.
o
Dalam sajak puisi tersebut:
….Kita saksikan zat asam didesk
karbon dioksid itu menggilas paru-paru….
f. Metonimia.
Bahasa
kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya disbanding metafora,
perbandingan, dan personifikasi ialah metonimia dan sinekdoki.
Metonimia
ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini
berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang
sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut
(Altenberd, 1970).
g.
Sinekdoki
(synecdoche).
Sinekdoki
adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda
(hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd, 1970).
Sinekdoki
ada dua macam yaitu sebagai berikut:
1) Pars pro toto:
sebagian untuk keseluruhan.
2) Totum pro parte:
keseluruhan untuk sebagian.
o
Dalam sajak puisi tersebut:
….Kita telah saksikan seribu
tanda-tanda
Biskah kita membaca tanda-tanda?....
3.
Imaji
(citraan).
Gambaran-gambaran angan (imaji) itu ada
bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan,
pengecapan dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan.
a. Citra penglihatan (visual imagery),
merupakan citraan yang timbul oleh indera penglihatan (mata).
o
Misalnya:
….Kita saksikan
udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang
semakin surut jadinya….
b. Citra pendengaran (auditory imagery),
merupakan citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran atau citraan yang
dihasilkan dan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara.
o
Misalnya:
….Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari….
c. Citra perabaan (tactile imagery),
merupakan citraan yang dapat dirasakan oleh indera peraba (kulit).
o
Misalnya:
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita….
d. Citra penciuman (olfactory),
merupakan citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan
oleh indera penciuman.
o
Misalnya:
....Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru….
e. Citra pengecapan (gustatory),
merupakan citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan
oleh indera pengecapan.
f. Citra gerak (kinaesthetic imagery), merupakan gambaran
tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak.
o
Misalnya:
…………………
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah…….
Gambaran-gambaran
angan yang bermacam-macam itu tidak dipergunakan secara terpisah-pisah oleh
penyair dan sajaknya, melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat
dan saling menambah kepuitisannya.
o
Dalam sajak puisi tersebut:
.................
Kita saksikan zat asam didesak
karbon dioksid itu menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata
…………………………
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
kita….
Dari
beberapa potongan puisi dari Taufik Ismail tersebut tergambar jelas sisi Imaji
didalamnya.
4. Simbol.
Simbol
adalah tanda yang memungkinkan puisi tersebut memiliki arti.
o
Misalnya:
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
o
Maksudnya:
Satu
baris sajak tersebut menggambarkan/menyimbolkan datangnya sebuah bencana yang
tidak kita sadari itu semua timbul, bahwasanya akibat dari ulah diri kita
(manusia) itu sendiri.
Simbol
juga memiliki dua istilah yaitu penanda dan petanda, dan saya akan
menjabarkannya, sebagai berikut:
a. Penanda.
Penanda
merupakan objek yang memiliki tanda.
o
Misalnya dalam puisi tersebut:
-
Banjir
-
Longsor
-
Gempa
-
Gunung meletus
b. Petanda.
Petanda
merupakan hasil dari penanda itu sendiri.
o
Misalnya:
-
Banjir = petandanya yaitu meluapnya air
sungai dari keadaan normal.
-
Longsor = petandanya yaitu runtuhnya
tanah dataran tinggi/dataran rendah akibat hujan lebat atau labilnya kondisi
tanah.
-
Gempa = petandanya yaitu guncangan keras
yang terjadi di Bumi akibat pergeseran lempeng bumi.
-
Gunung meletus = petandanya yaitu
aktifitas magma didalam perut Bumi yang mengakibatkan keluarnya abu fulkanik
dan batu/kerikil.
B. Aspek Formal Puisi
1.
Tata
Bahasa
Tata
bahasa adalah studi sistematis dan deskripsi bahasa. Satu set aturan dan contoh
berurusan dengan sintaks dan struktur kata (morfologi) dari sebuah bahasa.
Membaca
Tanda-tanda
Taufik Ismail
Ada sesuatu yang rasanya seakan-akan mulai terlepas dari tangan
dan meluncur melalui (lewat) sela-sela jari tangan kita
Ada sesuatu yang awal mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita sudah mulai merasakannya
Kita saksikan udara berubah menjadi abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang kini terlihat semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi
berkicau dipagi hari
Hutan telah kehilangan rantingnya
Ranting telah kehilangan daunnya
Daun telah kehilangan dahannya
Dahan telah kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak
karbon dioksid itu menggilas masuk
paru-paru
Kita saksikan kini
Gunungpun mengeluarkan (membawa) abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata manusia
Kita kini telah saksikan seribu tanda-tanda itu
Namun
biskah kita
membaca tanda-tanda itu?
Ya
Allah
Kami kini telah membaca dan memahi gempa
Kami telah merasakan disapu banjir
Kami telah dihalau oleh api dan hama
Kami telah dihujani oleh abu dan batu
Ya
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami
Berilah kami kearifan untuk
membaca tanda-tanda itu
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan kami
dan
akan meluncur
lewat sela-sela jari tangan
Karena ada sesuatu yang mulanya kami rasa tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukanya lagi
2. Pengolahan Bunyi
Karya
sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna. Bunyi bahasa merupakan bunyi, yang merupakan
perwujudan dari setiap bahasa, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berperan
di dalam bahasa.
Pola
bunyi dipilah menjadi lima bagian yaitu sebagai berikut:
a. Aliterasi
(deret konsonan)
Dimana
dalam 1 baris hanya terdapat konsonan saja.
Contoh:
tsss….
o
Misalnya dalam puisi tersebut: -
b. Asonansi
Dimana
dalam puisi tersebut hanya ada huruf vokal.
Contoh:
aaaaa….
o
Misalnya dalam puisi tersebut: -
c. Eufoni
(efek senang)
Eufoni
adalah pola bunyi yang memiliki efek senang yang didominasi oleh konsonan (k,
p, t, s) dan vokal (i, e, a).
o
Misalnya dalam puisi tersebut:
….Karena ada sesuatu
yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai
merindukanya….
d.
Kakofoni (efek gelap).
Kakofoni
adalah pola bunyi yang memiliki efek gelap (sedih, duka, dan lain-lain) yang
didominasi oleh konsonan selain k, p, t, s dan vokalnya o, dan u.
o
Misalnya dalam puisi tersebut:
….Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata….
e.
Rima.
Rima
merupakan persamaan bunyi (awal, tengah, belakang). Persamaan
ini berupa pengulangan bunyi yang sama pada satuan baris atau pada baris-baris
berikutnya dalam bait.
o
Misalnya dalam puisi tersebut:
….Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan….
Panjang juga, ya, ternyata, kalau dikaji!?
ReplyDeletejdi apa diksinya bagaimana
ReplyDelete