Puisi Polos, Puisi Gelap, dan Puisi Prismatis

Memahami sebuah puisi, sesungguhnya kita menghadapi sebuah obyek yang berada di balik tirai. Ada kalanya kain tirai terbuat dari rajutan yang sangat rapat sehingga kita memerlukan mata yang jeli dan kesabaran dalam melihat dan menafsirkan obyek yang berada di balik tirai. Ada kalanya juga kain tirainya tersulam dengan renggang sehingga secara mudah kita dapat mengetahui siapa yang berada di baliknya.
Begitu juga puisi, terkadang kita sangat susah dan lambat untuk memahami maksudnya, terkadang begitu mudah dan cepat untuk mengerti maknanya. Dalam hal ini, puisi terbagi dalam tiga jenis, yaitu puisi transparan (atau polos, atau diafan), puisi gelap, dan puisi prismatis. Ketiga jenis puisi ini bisa diibaratkan seperti terang benderang, gelap, dan remang-remang.
Puisi transparan adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga bahasa dalam puisi mirip dengan bahasa sehari-hari (Waluyo, 1995:140). Biasanya, para pemula dalam hal menulis puisi cenderung menghasilkan karya dalam jenis ini. Mereka belum mampu mempermainkan kiasan, majas, dan sebagainya, sehingga puisi menjadi kering dan lebih mirip catatan pada buku harian.
Contoh kutipan puisi transparan:
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
pohon jambu di halaman ruman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
Memainkan daun yang berguguran.
(Episode : W.S. Rendra)
Puisi gelap menurut Waluyo (1995:140), adalah puisi yang terbentuk dari dominasi majas atau kiasan sehingga menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri mengidentifikasikan puisi-puisi yang ditulis era 80-90an sebagai puisi gelap. Afrizal Malna adalah salah satu penyair yang menulis puisi “gelap” kala itu. Menurut Sutardji, (lewat Sarjono, 2001:102), gelapnya puisi 80-90an memiliki pengertian mendua, yakni (1) persoalan komunikasi puisi (2) persoalan gagalnya pengucapan puitik.
Sementara itu, Abdul Wachid B.S. (2005:50) dan Korrie Layun Rampan (2000:xxxiii) memandangnya lain. Fenomena puisi gelap dan gelapnya puisi dipahami sebagai ‘taktik’ untuk tetap berpuisi dalam situasi dan kondisi kehidupan bernegara yang represif. Berangkat dari realitas sosial yang dipahami oleh penyair sebagai peristiwa individu di satu sisi dan sebagai peristiwa sosial di sisi lain, puisi gelap pada waktu itu tetap menyampaikan ironi dan kritik sosial sebagai tugas sastra.
Dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna puisi itu. Namun makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma. Ada bermacam-macam makna yang muncul karena memang bahasa puisi bersifat multi interpretable. Puisi prismatis kaya akan makna, namun tidak gelap. Makna yang aneka ragam itu dapat ditelusuri pembaca. Jika pembaca mempunyai latar belakang pengetahuan tentang penyair dan kenyataan sejarah, maka pembaca akan lebih cepat dan tepat menafsirkan makna puisi tersebut. Puisi karya para penyair besar adalah puisi berjenis ini. Penyair besar adalah orang yang telah melewati proses kreatif yang matang sehingga mereka telah menemukan dirinya dan menemukan bentuk bagi puisinya.
Contoh kutipan puisi prismatis :
Pada jam ke-24
kota seperti kiamat:
Sydney telah terkunci
dalam gelas pagi.
Ada bulan mengukur luas
laut dan musik panas
Ada beton membentang bentuk
dan bayang hanya merunduk
(Sydney: Goenawan Mohammad, 1979)

SHARE ON:

Hallo Readers, kenalin gw Rizqi Irfansyah, pemilik blog sederhana ini. Berharap apa yang tertulis di blog sederhana ini bisa menjadi informasi yang bermanfaat untuk saya pribadi dan untuk pembaca yang kebetulan kesasar :)

    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment