Mencintai Orang Miskin
Di dalam Al Quran Allah Swt. berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. Al Maa’uun [107] : 1-3).
Tentang penjelasan ayat-ayat ini, Sayyid Quthb menegaskan: “Bila keimanan seseorang benar-benar meresap kuat dalam dada, ia tidak akan menghardik anak yatim, dan tidak akan membiarkan orang-orang miskin kelaparan. Masalah keimanan bukanlah hanya semboyan dan ucapan, melainkan perubahan dalam hati yang melahirkan kebaikan dalam hidup bersama dengan manusia yang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Allah tidak ingin keimanan hamba-Nya hanya kalimat yang diucapkan, melainkan harus diterjemahkan dalam perbuatan nyata. Bila tidak, keimanan itu menjadi sekedar buih yang tidak bermakna dan tidak berpengaruh apa-apa.” (Fi dzilalil Qur’an, vol.6, hal. 3985).
Wasiat yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tujukan kepada Abu Dzar ini hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai umat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau ini tertuju kepada kita semua.
Orang-orang miskin yang dimaksud adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. ,
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,”Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”
Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkumpul bersama orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., tetapi mereka enggan duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka, masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
“Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya”. (QS. Al – An’âm [6] : 52).
Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada kita, kita bagi dan kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat.”(HR. Muslim)
Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA., Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”. [HR. Bukhari dan Muslim].
Semasa hidupnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu berkumpul berdampingan dengan orang-orang miskin. Bahkan beliau memohon kepada Allah agar dihidupkan dalam keadaan tawadhu’, yang beliau ucapkan dengan kata “miskin”. Sebagaimana hadits sabda beliau,
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin”. [HR. Ibnu Majah].
Ini adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar Allah Ta’ala memberinya sifat tawadhu` dan kerendahan hati, serta agar beliau tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim apalagi menjadi termasuk kalangan orang-orang kaya yang melampaui batas. Hadits ini tidaklah bermakna bahwa beliau meminta untuk dijadikan manusia yang miskin. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Atsir RA., bahwa kata “miskin” dalam hadits di atas bermakna tawadhu[1]. Hal ini diperkuat dengan hadits lain di mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah Swt. dari kefakiran.
Permohonan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini bukanlah tanpa alasan. Sesungguhnya beliau telah mengetahui bahwa terdapat perbedaan jarak waktu antara orang-orang miskin dan orang-orang kaya dari kalangan kaum muslimin ketika memasuki surga. Dimana orang-orang miskin akan setengah hari lebih cepat memasuki surga dibandingkan orang-orang kaya. Kadar waktu setengah hari ini adalah lima ratus tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun”. [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Mengapa bisa seperti ini, dan orang-orang miskin seperti apakah yang akan masuk surga dengan lebih cepat itu? Hal ini terjadi karena orang-orang kaya akan terlebih dahulu menghadapi perhitungan dan pertanggungjawaban tentang bagaimanakah harta kekayaan mereka itu dipergunakan, dimanakah harta kekayaan mereka itu dibelanjakan. Apakah mereka mempergunakannya untuk beribadah kepada Allah Swt., ataukah untuk bermaksiat terhadap-Nya.
Adapun orang–orang miskin yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang senantiasa berupaya dengan segenap kemampuan untuk melakukan amal perbuatan yang merupakan bentuk ketaatan mereka kepada Allah Swt.. Mereka adalah orang-orang miskin yang meskipun dengan keadaan mereka yang serba kekurangan, akan tetapi kekurangan mereka itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berpegang kepada Sunnah dan menghindari perbuatan-perbuatan bid’ah. Keterbatasan mereka tidak lantas membuat mereka terjerumus kepada perbuatan munkar. Mereka tetap berkomitmen menunaikan perbuatan ma’ruf.
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. agar beliau dijadikan orang yang mencintai orang-orang miskin. Beliau bersabda,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu”. [HR. Ahmad].
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menginformaskan kepada kita semua bahwasanya Allah Swt. akan melimpahkan rezeki-Nya kepada kita apabila kita memberikan pertolongan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Rasulullah Saw. bersabda,
“Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian”.[HR. Bukhari]
Bahkan dalam sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitahukan bahwa betapa besar peran yang diberikan oleh orang-orang yang hidup dalam keterbatasan, terhadap umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka”.[HR. An Nasai]
Sepanjang usianya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tak pernah luput untuk berempati kepada kaum miskin. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam teramat mencintai mereka. Maka tak heran apabila beliau senantiasa berwasiat kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa mencintai mereka yang kekurangan secara ekonomi. Wasiat Rasulullah Saw. itu sebagaimana yang beliau sampaikan kepada Abu Dzar RA., salah seorang sahabatnya.
Besarnya perhatian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kaum papa ini menginspirasi Ibn Majah untuk mebuat bab khusus yang membahas keutamaan orang-orang miskin, yaitu bab Fadlul Faqr(keutamaan kefakiran), bab Manzilatul Fuqara’ (derajat orang-orang miskin), dan bab Mujalasatul Fuqara(bergaul dengan orang-orang miskin) di dalam kitab karyanya.
Dalam suatu riwayat dari Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa pada suatu ketika sahabat-sahabat Rasulullah Saw. yang miskin dari kalangan kaum muhajirin menceritakan betapa beruntungnya sahabat-sahabat mereka yang kaya, di mana mereka memiliki kesempatan yang lebih lapang untuk melakukan kebajikan sehingga bisa memperoleh pahala lebih banyak dibandingkan mereka.
Mendengar hal itu, Rasulullah Saw. langsung bersabda: “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun. Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj [22] : 47).
Lantas, bagaimanakah dengan kehidupan Rasulullah Saw. sendiri. Apakah beliau termasuk orang-orang yang hidup di dalam kemiskinan ataukah bergelimang harta kekayaan? Rasulullah Saw. hidup di dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan, isteri beliau yaitu ‘Aisyah RA. pernah menceritakan bahwa di rumah mereka pernah tidak mengepul asap (tidak memasak) selama satu bulan lamanya. ‘Aisyah RA. menceritakan bahwa ketika itu ia dan sang suami tercinta hanya meminum air dan makan beberapa butir kurma.
Ada salah satu doa Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin.” [HR. Ibnu Majah]. Maksud dari “miskin” dalam hadits ini bukanlah keadaan tidak memiliki apa-apa, melarat, sengsara atau maksud lainnya yang dipahami sebagian orang terhadap kata “miskin”. Miskin dalam hadits ini seperti yang dijelaskan Imam Baihaqi bahwa maksudnya adalah khusyu’ dan tawadlu.
Jadi, dalam hadits tersebut di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. supaya beliau dijadikan sebagai orang yang senantiasa hidup di dalam keadaan yang menjadikan diri beliau sebagai orang yang khusyu dan tawadlu.
Kepada sahabat-sahabatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu menceritakan bahwa diri dan keluarganya tidak pernah mempunyai harta yang jumlahnya mencapai satu Sha’ (3751 gram) biji-bijian atau kurma. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau hanya mempunyai harta sebanyak satu Mud (938 gram) makanan[2].
Mencintai orang-orang miskin adalah bukti dari keimanan kita kepada Sang Khaliq. Apabila ajaran mulia dari Rasulullah Saw. ini sudah benar-benar dipahami dan diamalkan oleh kita semua, tentulah kita tidak akan menyaksikan bayi yang ditahan rumah sakit hanya karena orang tuanya tidak bisa menebus biaya persalinan. Tentulah juga kita tidak akan menyaksikan orang-orang miskin yang akhirnya meregang nyawa karena ditolak berobat oleh rumah sakit sebab kendala biaya.
Mari kita perhatikan, ternyata fenomena-fenomena sosial tersebut hampir setiap hari kita temukan baik di hadapan mata kita secara langsung, maupun informasi memalui media-media. Semoga kita termasuk umat Rasulullah Saw. yang senantiasa meneladani beliau dalam mencintai orang-orang miskin dan kaum lemah.
[1] An Nihâyah fî Gharîbil Hadîts (II/385), Imam Ibnul-Atsir RA..
[2] Sunan Ibnu Majah : 4147-8.
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
0 komentar:
Post a Comment